ppasihidayatullah.blogspot.com– Sistem pendidikan
kapitalis yang menjalankan proses pendidikan layaknya industri dipandang gagal
melahirkan output ber-Tauhid dan nihil loyalitas terhadap Islam.
Akibat pengaruh sistem
tersebut, lembaga pendidikan berlomba mengusung slogan “modern” dengan membuat
ketentuan baku bahwa seorang siswa atau murid bisa lulus atau tidak lulus hanya
berdasarkan angka-angka hasil ujian di atas kertas. Aspek emosional, kultur,
dan lainnya pun dicampakkan.
Itulah beberapa yang
menjadi keprihatinan Yayasan Al Aqsha Hidayatullah Kudus yang selama ini terus
concern menyelenggarakan pendidikan berbasis Tauhid yang tak memandang apakah
seorang perserta didik mampu secara akademik atau tidak. Semua mendapat porsi
yang sama untuk mengecap pendidikan Islam. Sebab, pada prinsipnya, fitrah
manusia adalah men-Tauhid-kan Allah Ta’ala.
Ketua Yayasan Al Aqso
Hidayatullah Kudus, Abdullah, mengatakan, sekulerisasi dan kapitalisasi
pendidikan telah dimulai sejak lama karena belum maksimalnya pola pendidikan
Tauhid dalam sosialisasi dan transformasi. Kendati demikian, tak ada kata
terlambat untuk berbenah.
“Terdapat kesan sangat
kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) adalah suatu hal yang
berada di wilayah bebas nilai sehingga sama sekali tak tersentuh oleh standar
nilai agama,” kata dia.
Kalaupun ada,
sambungya, hanyalah etik (ethic) yang tidak bersandar pada nilai agama.
Sementara, pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari
proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius.
Menurut dia, dari
seluruh permasalahan yang ada dalam pendidikan, yang pertama harus ditata
kembali adalah adalah permasalahan yang muncul akibat konsepsi pendidikan
secara paradigmatik. Tataran paradigamatik ini yang akan memberi visi, misi,
dan orientasi proses pendidkan yang dilaksanakan. Karena itu, kekeliruan
paradigmatik pendidikan akibatnya akan sangat fatal.
“Pengaruh yang
ditimbulkan bukan hanya terhadap individu peserta didik, tetapi juga teradap
sistem kehidupan yang dibangun oleh peserta didik tersebut,” terangnya.
Secara paradigmatik,
imbuhnya, pendidikan harus ditata pada asas Tauhid. Suatu pandangan kehidupan,
pemahaman, penghayatan, serta implentasi dalam pola sikap, ucap dan tindakan
(iman), atas realitas kehidupan. Serta, entitas dari realitas tersebut akan
adanya penciptaan, ketergantungan, pengaruh, tujuan, dan rujukan serta
keberadaan pencipta. Dalam bahasa sehari-hari Tauhid sering diartikan
meng-Esa-kan Tuhan.
Asas Tauhid ini
merupakan landasan, jiwa, dan ortientasi pendidikan. Karena pendidikan itu
objeknya adalah manusia, maka persepsi manusia juga harus berdasarkan Tauhid,
bukan atas persepsi manusia itu sendiri. Inilah, tegas Abdullah, otoritas Tuhan
sebagi bagian nilai dari Tauhid.
Atas dasar itu pula,
kata Abdullah, kita memahami bahwa manusia dikategorisasi dari status dan
fungsinya, baik sebagai individu, atau sebagai bagian dari masyarakatnya,
lingkunganya, dan alamnya serta ditunjau berdasarkan instrumentasi yang
dimilikinya.
“Manusia memiliki
status dan fungsi hidup sebagi Abdullah dan Khaliffatulah. Dalam rangka
mengemban amanat tersebut, maka diperlukan kemampuan berupa tumbuh dan
berkembangnya aspek-aspek instrumentasi kemampuan manusia secara integral dan
seimbang, yaitu aspek aqliyah, ruhiyah dan jismiyah,” terangya.
Dengan demikian, imbuh
dia, kemampuan yang dimiliki manusia dengan tumbuh dan berkembangnya kemampuan
intrumentasinya, adalah dalam rangka memerankan secara fungsional dan
integratif antara sebagai hamba (‘abid) yang berdimensi sebagai pribadi dan
sebagai khalifah yang berdimensi sosial dan lingkungan alam.
Penyelenggara dan
lembaga pendidikan pun, lanjutnya, tak boleh mengabaikan aspek tersebut dengan
terus mendaraskan keikhlasan dalam diri dalam mendidik sehingga semua potensi
dapat dimaksimalkan tanpa ada pembeda-bedaan. Selama seseorang memiliki
komitmen untuk berubah menjadi lebih baik, maka harus diapresiasi.
“Sehingga suatu hal
yang naif kalau ada lembaga pendidikan berlabel Islam menolak calon murid atau
pelajar hanya karena dia tak memenuhi syarat akademik atau secara lahir
terlihat mbalelo, padahal di aspek lain bisa jadi dia memiliki potensi untuk
menjadi baik karena itulah fitrahnya,” pungkasnya.
Yayasan Al Aqsho
Pesantren Hidayatullah Kudus sendiri merupakan cabang dari Hidayatullah
Balikpapan Kalimantan Timur yang dirintis oleh almarhum KH Abdullah Said.
Sebelum Kudus, Hidayatullah lebih dulu berdiri di Situbondo dengan nama Yayasan
Al-Amin.
Perintisan Yayasan
Situbondo diawali oleh diskusi-diskusi yang dilakukan oleh beberapa anak muda
mahasiswa muslim yang sedang menyelesaikan kuliah di berbagai Perguruan Tinggi
di Surabaya. Mereka antara lain Abdurrahman (UNAIR), Hamim Thohari (IKIP),
Elvenus Yahya (ITS), Sulaiman (ITS), Rahmad Rahman (UNAIR), dan Chusnul Chuluk
(IKIP).
Atas izin Allah SWT,
kepercayaan masyarakat kepada Yayasan Al Aqsho Hidayatullah Kusud terus
meningkat. Hingga pada akhirnya Yayasan Al Aqsho Kudus mampu mewujudkan sebuah
kompleks asrama di atas tanah seluas 10.000 m2 dan terus eksis hingga kini.
Kegiatan yang awalnya
hanya berupa penyantunan yatim piatu, pembinaan anak putus sekolah terus
ditingkatkan menjadi lembaga pendidikan yang dikelola secara profesional
terdiri dari Play Group dan TK “Yaa Bunayya”, SD Luqman Al-Hakim yang berdiri
pada tahun 1999 serta SD Integral pada tahun 2012. (ybh/hio)