Tahid,Membina Suku Tengger di Pucuk Gunung

http://ppasihidayatullah.blogspot.com
Diam-diam Wagimin kagum dengan Islam. Agama yang dibawa Rasulullah SAW ini begitu memperhatikan kebersihan dan kedisiplinan. Betapa tidak, setiap hendak beribadah mereka harus membersihkan badan. Juga, saat beribadah kepada Allah-nya waktu-waktunya sudah ditentukan. Tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Itu artinya membutuhkan kedisplinan tingkat tinggi. Hati warga Dusun Pusung Duwur ini benar-benar kepincut dengan Islam. Ia kemudian memutuskan masuk Islam, setelah sebelumnya beragama Hindu.
Tak lama masuk Islam, Wagimin dengan ikhlas mewakafkan sebidang tanahnya untuk pembangunan masjid. Kini, masjid itu berdiri cukup megah dan dipakai shalat lima waktu serta mengaji anak-anak.
Lain lagi cerita Sukardi. Ia masuk Islam karena tertarik dengan perilaku seorang dai Hidayatullah yang bertugas di desanya. Dai itu orangnya bersahaja, ramah dan suka membantu orang lain. Kebetulan ia punya anak gadis. Betapa bahagianya bila ia punya menantu orang seperi dai itu. Begitu angan-angan Sukardi di dalam hati. Sukardi ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Rupanya si dai juga tertarik dengan putrinya. Mereka pun kemudian melangsungkan pernikahan. Setelah itu, Sukardi dan keluarganya masuk Islam.
Wagimin dan Sukardi adalah warga Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Lumajang, Jawa Timur. Desa ini berada di ketinggian 2900 di atas permukaan air laut, tak jauh dari Bromo, obyek wisata yang terkenal itu.
Wagimin dan Sukardi mengenal Islam setelah dakwah masuk ke desanya. Tak hanya mereka berdua yang hijrah, ada puluhan warga Argosari yang dengan suka rela masuk Islam.
Hidayatullah pertamakali mengirimkan dainya di daerah yang dihuni Suku Tengger itu pada 2005. Tak mudah berdakwah di daerah ini, Medan alamnya berat. Jalannya naik turun dan belum beraspal. Belum lagi suhu udaranya, terasa bagai menembus tulang.
Sejak 2005, lewat Cabang Lumajang dai-dai Hidayatullah aktif membina Suku Tengger. Tak hanya ceramah agama, tapi juga membantu kebutuhan riel masyarakat Tengger. Di antaranya, mengadakan pipanisasi air dari sumber menuju rumah-rumah penduduk. Sebelum ada pipa, setiap hendak mengambil air, penduduk harus berjalan berkilo-kilo meter.
Selain pipanisasi, para dai juga mendirikan masjid dan membuka Taman Pendidikan al-Qur`an (TPA).
Kini, mereka sedang mempersiapkan berdirinya pesantren. Tingkat pendidikan masyarakat Tengger dikenal rendah. Rata-rata hanya lulus SD, bahkan banyak yang tak lulus. Mereka termasuk tipologi masyarakat pekerja. “Mungkin, karena alamnya subur sehingga mereka lebih memilih bekerja di kebun daripada sekolah,” kata Tahid, salah seorang dai Hidayatullah yang bertugas di Argosari.
Di samping pekerja, penyebab lain rendahnya tingkat pendidikan Suku Tengger adalah minimnya fasilitas pendidikan. Untuk SD saja, mereka mesti berjalan sekitar 2 kilometer. Untuk masuk SMP, mereka harus turun ke Senduro yang jaraknya sekitar 10 kilometer.
Agar sesuai dengan masyarakat Tengger, kata Tahid, pesantren yang hendak dibangun itu, selain agama, juga mengajarkan pertanian. “Insya Allah, kami akan mendirikan pesantren tahfidz dan agrobis,” jelas Tahid. Tahfidz adalah orang-orang yang menghafal al-Qur`an.
Lahan untuk pesantren itu sudah tersedia dan peletakan batu pertamanya dilakukan Bupati Lumajang, akhir April lalu. Seberapa cepat pembangunan itu selesai, tentu tergantung pada kesiapan dana. “La itu masalahnya, kami masih mencari,” kata Tahid sambil terseyum.