Ustad.Ali Imron
KELUARGA YANG TAAT KEPADA ALLAH
Idul Fitri pada hakekatnya merupakan refleksi
kegembiraan yang luar biasa setelah kita berhasil keluar sebagai pemenang dalam
sebuah pertarungan yang dahsyat selama sebulan penuh.
Kemenangan yang kita raih dalam pertarungan di bulan
Ramadhan, mengantarkan kita semua menjadi insan yang kembali menjadi suci.Insan
yang terbebas dari segala noda yang mengotori hati, akibat perbuatan kita
selama ini, baik yang kita lakukan dengan sengaja dan terang-terangan, maupun
murni karena sebuah kekhilafan dan di luar kontrol "kesadaran".
Inilah yang dimaksud oleh Rasulullah SAW, “ka
waladadhu ummuhu”, seperti pada hari kita dilahirkan oleh Ibu. Kemenangan
inilah sesungguhnya, yang mendorong kita semua memekikkan kalimat takbir,
tahlil dan tahmid.
Adapun Idul Adha yang kita rayakan pada hari ini, hakekatnya merupakan
media bagi umat Islam seluruh dunia, khususnya bagi mereka yang diberi
kesempatan melaksanakan Ibadah Haji, untuk kembali mengenang ulang tiga sosok
manusia yang pernah terlahir di muka bumi. Ketiga sosok yang dimaksudkan adalah
Nabiyullah Ibrahim AS, Siti Hajar, istrinya, dan juga putranya, Ismail.
Ketiganya tercatat dalam sejarah yang ditulis dengan tinta emas, yang oleh
al-Qur’an dinobatkan sebagai uswatun hasanah (contoh teladan yang baik), bagi
seluruh umat manusia.Mereka bertiga telah mengajarkan bagaimana cara kita
bersikap dalam mengarungi kehidupan agar beruntung, sukses, bahagia dan selamat
di dunia dan akhirat. Inilah yang diabadikan oleh Allah SWT dalam QS:60 (Al Mumtahanah) ayat 4
Sungguh telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada
Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya.
Allahu
Akbar 3X Walillahilhamd.
Tingkat kemampuan seseorang dalam memahami dan memperagakan ketiga sosok
di atas akan berbanding lurus dengan tingkat kegembiraannya hari ini. Kegembiraan
itu ditandai dengan suara yang lantang
ketika mengumandangkan kalimat takbir, tahlil dan tahmid, yang akan terus
menerus menggema, hingga berakhirnya hari tasyrik pada tanggal 13 Dzulhijjah.
Ikhwanie rahimakumullah.
Adalah lucu, bila hari ini ada orang yang turut
bergembira ria dan ikut bersuka cita meramaikan Iedul Adha, padahal sikap dan
tingkah lakunya tidak sejalan, bahkan
nyata-nyata sangat bertentangan dengan apa yang telah diperagakan oleh Nabiyullah
Ibrahim bersama istri dan juga putranya.
Sama dengan Iedul Fitri yang lalu, adalah aneh ketika
ada orang yang jelas-jelas kalah dalam pertarungan di bulan Ramdhan, namun
tidak mau kalah dalam mengekspresikan kegembirannya. Kegembiraan yang dimaksudkan,
bukan hanya tampak pada pakaiannya yang serba baru, perabot rumah tangga yang
diganti dengan produk keluaran mutakhir, namun juga terlihat dengan jelas,
betapa senyumnya yang manis senantiasa menghiasi wajahnya. Malah suaranya lebih
lantang ketika memekikkan takbir, tahlil dan tahmid.
Na’udzubillah, semestinya mereka segera sadar dan
mengucapkan banyak istighfar, diiringi
raut wajah penuh kesedihan dan tetesan air mata yang mengucur deras di
wajahnya. Yang demikian itu dilakukan karena mereka telah menyia-nyiakan
kesempatan yang ada untuk mensucikan dirinya. Tidak seorangpun dapat garansi
istimewa bahwa tahun depan mereka masih hidup. Tidak ada yang tahu apakah
mereka masih diberi waktu.
Kita boleh berbangga diri dengan kemajuan ilmu dan tehnologi
yang berkembang saat ini, tapi tehnologi mana yang bisa menghentikan kematian?
Kita boleh bersuka cita atas ditemukannya berbagai
alat kedokteran yang canggih, tapi dokter mana yang bisa menyetop kematian?
Dokter, obat, rumah sakit dan peralatan kesehatan yang canggih hanyalah alat.
Pada akhirnya yang menentukan adalah taqdir Allah. Dialah yang punya kuasa.
Dialah yang menghidupkan dan mematikan.
Allah telah menegaskan dalam firman-Nya:
Di manapun engkau berada, niscaya kematian akan
menemuimu, sekalipun engkau berada dalam benteng yang sangat kokoh. (QS.
An-Nisaa’: 78)
Allahu Akbar 3X Walillahilhamd.
Ikhwani kaum Muslimin yang berbahagia.
Pada kesempatan yang baik di hari idul adh-ha ini,
kami mengajak kepada kita semua untuk merenungkan kembali makna sejarah yang
telah dipertontonkan secara vulgar oleh Nabi Ibrahim, Siti hajar, dan putranya,
Ismail. Ketiganya telah menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya taat
kepada perintah Allah. Bagaimana menempatkan Allah di atas segala-galanya.
Bagaimana kecintaan kepada Allah di atas semua kecintaan kepada apapun dan
kepada siapapun.
Sebagaimana yang kita pahami, kehadiran seorang anak
dalam kehidupan rumah tangga merupakan pelengkap kebahagiaan. Ketidak hadiran seorang
anak dalam kehidupan suami isteri ibarat sayur yang tak bergaram.
Adalah wajar wajar bagi sepasang suami istri yang
telah melangsungkan pernikahan dalam waktu yang relatif lama, rela melakukan
berbagai macam cara dan biaya yang tidak sedikit untuk mendapatkan anak. Bahkan
risiko yang berat sekalipun sanggup dijalani demi untuk mendapatkan keturunan.
Sebagai manusia biasa, Nabiyullah Ibrahim AS sesungguhnya
merasakan hal yang sama ketika usia pernikahannya telah mencapai puluhan tahun
dan belum dikaruniai seorang anakpun. Betapa bahagianya Ibrahim setelah
dikarunia anak dari pernikahnnya dengan
Siti hajar. Suatu kegembiraan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Namun, justru peristiwa inilah yang menjadi menjadi titik awal dari puncak
drama kehidupan yang beliau lakoni dari sekian banyak episode sejarahnya.
Betapa tidak, tatkala sang anak telah beranjak remaja,
sekonyong-konyong datang perintah Allah SWT untuk menyembelih sang buah hati. Ayah
mana yang hatinya tak berguncang saat menerima perintah ini? Ibu mana yang bisa
mengikhlaskan anaknya disembelih oleh ayah yang baru datang menengoknya? Anak
mana mana yang tidak memberontak ketika akan disembelih oleh ayahnya sendiri?
Itulah super drama
yang dimainkan secara apik oleh ketiga pemeran utama tadi, Ibrahim, siti Hajar,
dan Ismail. Mereka bertiga menujukkan kepada kita bagaimana seharusnya taat
kepada Allah di atas segala-galanya. Bagaimana kecintaan kepada Allah di atas
semua.
Drama tersebut diabadikan dalam al-Qur’an
Maka ketika anak itu sampai (pada umur)
sanggup berusaha ersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya
bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia
(Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukan apa yang Diperintahkan (Allah)
kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar. (QS.
Ash-Shaffat: 102)
Pertanyaan besarnya, modal apa yang dimiliki oleh
ketiga orang pilihan Allah tersebut, sehingga mereka begitu tegar dalam
melaksanakan perintah meskipun resikonya jelas, yaitu kehilangan sesuatu yang
justru paling dicintai dan disayangi?
Allahu Akbar 3X Walillahilhamd.
Ketaatan atas perintah Allah SWT yang menuntut pengorbanan yang begitu tinggi,
hanya mungkindilakukan oleh orang yang memiliki kualitas iman yang kokoh. Hanya
orang-orang yang memiliki pondasi keimanan yang kuat saja yang tetap tegar dan
kuat menghadapi berbagai cobaan hidup.
Orang yang beriman menyadari sepenuhnya bahwa hidup di
dunia ini hanyalah serentetan cobaan. Kadang baik, kadang buruk. Tapi ingat
bahwa hal tersebut hanyalah ujian. Namanya ujian itu tidak selamanya. Ada
satnya kita merayakan kelulusan setelah melewati fase ujian.
Allah berfirman:
Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji
kamu, siapa di antara yang lebih baik amalnya. Dan dia Maha Perkasa, Maha
Pengampun. (QS. Al-Mulk: 2)
Melalui drama di atas, Allah telah memberi pelajaran
berharga bahwa ketaatan kepada Allah tidak pernah membawa sengsara. Sebaliknya,
di balik ketaatan kepada Allah akan lahir keselamatan, kesuksesan, dan
kebahagiaan. Tidak hanya di dunia. Ada kebahagiaan yang abadi di surga.
Persoalannya sekarang, maukah kita menjalani ujian dan
cobaan dengan keimanan? Masih ragu-ragukah kita?
Tak bisa dipungkiri, cobaan kita saat ini adalah anak.
Anak yang kita lahirkan, anak yang kita besarkan, anak yang kita didik di
sekolah sekolah mahal, anak yang kita sayangi dengan segenap cinta telah
menjelma menjadi musuh kita. Di depan kita ada kenakalan remaja, tawuran antar
pelajar, minuman keras, ganja, narkoba, dan seks bebas. Sungguh, mengiris hati.
Bahkan di ayat yang
lain, Allah menegaskan:
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara
isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka. (QS. At-Taghabun: 14)
Melalui peristiwa penyembelihan kurban ini, nabi
Ibrahim memberi pelajaran bagaimana orangtua harus rela menyembelih anaknya
dengan memberikan pendidikan yang benar. Kenalkan mereka terhadap Tuhannya.
Kenalkan mereka dengan mengajarkan Al-Qur’an. Pahamkan mereka tentang syari’at
agama. Ajarkan pada mereka akhlaqul karimah.
Sebagai orangtua jangan ragu-ragu menyembelih anak
kita sendiri, dalam pengetian menyetop mereka jika berlaku salah. Stop
anak-anak kalian jika mereka bergaul bebas, lelaki dengan perempuan. Stop
anak-anak kalian jika mereka berpakaian tidak sopan, melanggar syaria’at,
mengumbar aurat. Stop anak-anak kalian jika terlihat mereka sampai berani
merokok, karena jika dibiarkan akan menjadi pintu masuk alkohol dan narkoba.
Orangtua harus tega menyembelih anaknya, dalam arti
melarang mereka berbuat maksiyat. Orangtua harus rela menghukum anaknya yang
tidak shalat. Meninggalkan shalat sama dengan berbuat kemaksiyatan. Jika kepada
Allah mereka berani melanggar, bagaimana kepada yang lain?
Rasulullah telah mengingatkan:
Suruhlah anak-anakmu shalat bila
berumur tujuh tahun dan gunakan pukulan jika mereka sudah berumur sepuluh
tahun. (HR. Abu Dawud)
Sungguh ironis, banyak orangtua yang segan
mengingatkan anaknya untuk melaksanakan shalat, padahal mereka sudah berumur di
atas sepuluh tahun, bahkan sudah ada yang berumur tujuh puluh tahun. Banyak
orangtua yang segan mengingatkan anaknya yang sedang pacaran, bergaul bebas,
dan berpakaian tidak sopan.
Anak kita adalah aset masa depan kita. Di saat kita
sudah menghadap Allah, merelah yang bisa meminta ampunan kepada Allah. Di saat
kita sudah mati, merekalah yang bisa mendo’akan kita. Anak adalah surga dan
neraka kita.
Rasulullah ditanya tentang peranan kedua orangtua,
beliau menjawab:
Hum jannatuka wa naruka
Mereka adalah (yang menyebabkan) surgamu dan nerakamu.
(HR. Ibnu Majah)
Kita semua mencintai anak, akan tetapi kecintaan kita
kepada anak jangan sampai kelewat batas. Betapa banyak orang tua yang rela
korupsi, besar-besaran atau kecil-kecilan demi anaknya? Ketika anaknya masih
kecil, yang diminta mungkin hanya sekadar mobil-mobilan. Tapi ketika mereka
dewasa, yang diminta mobil beneran. Rumah beneran.
Sebelum anak-anak kita menjadi neraka di rumah kita,
sebelum anak-anak kita menjadi generasi perusak bangsa, mari kita jadikan
kecintaan kepada Allah di atas segala-galanya. Mari kita jadikan ketaatan
kepada Allah menjadi perisai kehidupan kita. Kita didik anak kita baik-baik.
Kita juga jadikan diri kita sebagai suri tauladan yang baik bagi mereka.
Jadilah orangtua yang bisa menjadi contoh. Jadilah
orangtua yang bisa “sung tulodo”. Orangtua yang tidak hanya bisa menasehati,
tapi juga bisa menginspirasi. Jadilah ayah seperti Ibrahim. Jadilah ibu seperti
Siti hajar. Dan jadilah anak seperti Ismail.