Rabu, 08 Oktober 2014

PESAN-PESAN KHUTBAH IEDUL ADH-HA 1435 H . PPASI HIDAYATULLAH JAMBI

Ustad.Ali Imron

KELUARGA YANG TAAT KEPADA ALLAH

Idul Fitri pada hakekatnya merupakan refleksi kegembiraan yang luar biasa setelah kita berhasil keluar sebagai pemenang dalam sebuah pertarungan yang dahsyat selama sebulan penuh.
Kemenangan yang kita raih dalam pertarungan di bulan Ramadhan, mengantarkan kita semua menjadi insan yang kembali menjadi suci.Insan yang terbebas dari segala noda yang mengotori hati, akibat perbuatan kita selama ini, baik yang kita lakukan dengan sengaja dan terang-terangan, maupun murni karena sebuah kekhilafan dan di luar kontrol "kesadaran".

Inilah yang dimaksud oleh Rasulullah SAW, “ka waladadhu ummuhu”, seperti pada hari kita dilahirkan oleh Ibu. Kemenangan inilah sesungguhnya, yang mendorong kita semua memekikkan kalimat takbir, tahlil dan tahmid.
Adapun Idul Adha yang kita rayakan pada hari ini, hakekatnya merupakan media bagi umat Islam seluruh dunia, khususnya bagi mereka yang diberi kesempatan melaksanakan Ibadah Haji, untuk kembali mengenang ulang tiga sosok manusia yang pernah terlahir di muka bumi. Ketiga sosok yang dimaksudkan adalah Nabiyullah Ibrahim AS, Siti Hajar, istrinya, dan juga putranya, Ismail. Ketiganya tercatat dalam sejarah yang ditulis dengan tinta emas, yang oleh al-Qur’an dinobatkan sebagai uswatun hasanah (contoh teladan yang baik), bagi seluruh umat manusia.Mereka bertiga telah mengajarkan bagaimana cara kita bersikap dalam mengarungi kehidupan agar beruntung, sukses, bahagia dan selamat di dunia dan akhirat. Inilah yang diabadikan oleh Allah SWT dalam QS:60 (Al Mumtahanah) ayat 4
Sungguh telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya.

Allahu Akbar 3X Walillahilhamd.
Tingkat kemampuan seseorang  dalam memahami dan memperagakan ketiga sosok di atas akan berbanding lurus dengan  tingkat kegembiraannya hari ini. Kegembiraan itu  ditandai dengan suara yang lantang ketika mengumandangkan kalimat takbir, tahlil dan tahmid, yang akan terus menerus menggema, hingga berakhirnya hari tasyrik pada tanggal 13 Dzulhijjah.
Ikhwanie rahimakumullah.

Adalah lucu, bila hari ini ada orang yang turut bergembira ria dan ikut bersuka cita meramaikan Iedul Adha, padahal sikap dan tingkah lakunya  tidak sejalan, bahkan nyata-nyata sangat bertentangan dengan apa yang telah diperagakan oleh Nabiyullah Ibrahim bersama istri dan juga putranya.
Sama dengan Iedul Fitri yang lalu, adalah aneh ketika ada orang yang jelas-jelas kalah dalam pertarungan di bulan Ramdhan, namun tidak mau kalah dalam mengekspresikan kegembirannya. Kegembiraan yang dimaksudkan, bukan hanya tampak pada pakaiannya yang serba baru, perabot rumah tangga yang diganti dengan produk keluaran mutakhir, namun juga terlihat dengan jelas, betapa senyumnya yang manis senantiasa menghiasi wajahnya. Malah suaranya lebih lantang ketika memekikkan takbir, tahlil dan tahmid.

Na’udzubillah, semestinya mereka segera sadar dan mengucapkan banyak istighfar,  diiringi raut wajah penuh kesedihan dan tetesan air mata yang mengucur deras di wajahnya. Yang demikian itu dilakukan karena mereka telah menyia-nyiakan kesempatan yang ada untuk mensucikan dirinya. Tidak seorangpun dapat garansi istimewa bahwa tahun depan mereka masih hidup. Tidak ada yang tahu apakah mereka masih diberi waktu.

Kita boleh berbangga diri dengan kemajuan ilmu dan tehnologi yang berkembang saat ini, tapi tehnologi mana yang bisa menghentikan kematian?
Kita boleh bersuka cita atas ditemukannya berbagai alat kedokteran yang canggih, tapi dokter mana yang bisa menyetop kematian? Dokter, obat, rumah sakit dan peralatan kesehatan yang canggih hanyalah alat. Pada akhirnya yang menentukan adalah taqdir Allah. Dialah yang punya kuasa. Dialah yang menghidupkan dan mematikan.
Allah telah menegaskan dalam firman-Nya:

Di manapun engkau berada, niscaya kematian akan menemuimu, sekalipun engkau berada dalam benteng yang sangat kokoh. (QS. An-Nisaa’: 78)

Allahu Akbar 3X Walillahilhamd.
Ikhwani kaum Muslimin yang berbahagia.
Pada kesempatan yang baik di hari idul adh-ha ini, kami mengajak kepada kita semua untuk merenungkan kembali makna sejarah yang telah dipertontonkan secara vulgar oleh Nabi Ibrahim, Siti hajar, dan putranya, Ismail. Ketiganya telah menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya taat kepada perintah Allah. Bagaimana menempatkan Allah di atas segala-galanya. Bagaimana kecintaan kepada Allah di atas semua kecintaan kepada apapun dan kepada siapapun.

Sebagaimana yang kita pahami, kehadiran seorang anak dalam kehidupan rumah tangga merupakan pelengkap kebahagiaan. Ketidak hadiran seorang anak dalam kehidupan suami isteri ibarat sayur yang tak bergaram.
Adalah wajar wajar bagi sepasang suami istri yang telah melangsungkan pernikahan dalam waktu yang relatif lama, rela melakukan berbagai macam cara dan biaya yang tidak sedikit untuk mendapatkan anak. Bahkan risiko yang berat sekalipun sanggup dijalani demi untuk mendapatkan keturunan.

Sebagai manusia biasa, Nabiyullah Ibrahim AS sesungguhnya merasakan hal yang sama ketika usia pernikahannya telah mencapai puluhan tahun dan belum dikaruniai seorang anakpun. Betapa bahagianya Ibrahim setelah dikarunia anak  dari pernikahnnya dengan Siti hajar. Suatu kegembiraan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Namun, justru peristiwa inilah yang menjadi menjadi titik awal dari puncak drama kehidupan yang beliau lakoni dari sekian banyak episode sejarahnya.

Betapa tidak, tatkala sang anak telah beranjak remaja, sekonyong-konyong datang perintah Allah SWT untuk menyembelih sang buah hati. Ayah mana yang hatinya tak berguncang saat menerima perintah ini? Ibu mana yang bisa mengikhlaskan anaknya disembelih oleh ayah yang baru datang menengoknya? Anak mana mana yang tidak memberontak ketika akan disembelih oleh ayahnya sendiri?

Itulah super drama yang dimainkan secara apik oleh ketiga pemeran utama tadi, Ibrahim, siti Hajar, dan Ismail. Mereka bertiga menujukkan kepada kita bagaimana seharusnya taat kepada Allah di atas segala-galanya. Bagaimana kecintaan kepada Allah di atas semua.


Drama tersebut diabadikan dalam al-Qur’an
Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha ersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukan apa yang Diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar. (QS. Ash-Shaffat: 102)

Pertanyaan besarnya, modal apa yang dimiliki oleh ketiga orang pilihan Allah tersebut, sehingga mereka begitu tegar dalam melaksanakan perintah meskipun resikonya jelas, yaitu kehilangan sesuatu yang justru paling dicintai dan disayangi?
Allahu Akbar 3X Walillahilhamd.
Ketaatan atas perintah Allah SWT  yang menuntut pengorbanan yang begitu tinggi, hanya mungkindilakukan oleh orang yang memiliki kualitas iman yang kokoh. Hanya orang-orang yang memiliki pondasi keimanan yang kuat saja yang tetap tegar dan kuat menghadapi berbagai cobaan hidup.
Orang yang beriman menyadari sepenuhnya bahwa hidup di dunia ini hanyalah serentetan cobaan. Kadang baik, kadang buruk. Tapi ingat bahwa hal tersebut hanyalah ujian. Namanya ujian itu tidak selamanya. Ada satnya kita merayakan kelulusan setelah melewati fase ujian.

Allah berfirman:

Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara yang lebih baik amalnya. Dan dia Maha Perkasa, Maha Pengampun. (QS. Al-Mulk: 2)

Melalui drama di atas, Allah telah memberi pelajaran berharga bahwa ketaatan kepada Allah tidak pernah membawa sengsara. Sebaliknya, di balik ketaatan kepada Allah akan lahir keselamatan, kesuksesan, dan kebahagiaan. Tidak hanya di dunia. Ada kebahagiaan yang abadi di surga.

Persoalannya sekarang, maukah kita menjalani ujian dan cobaan dengan keimanan? Masih ragu-ragukah kita?
Tak bisa dipungkiri, cobaan kita saat ini adalah anak. Anak yang kita lahirkan, anak yang kita besarkan, anak yang kita didik di sekolah sekolah mahal, anak yang kita sayangi dengan segenap cinta telah menjelma menjadi musuh kita. Di depan kita ada kenakalan remaja, tawuran antar pelajar, minuman keras, ganja, narkoba, dan seks bebas. Sungguh, mengiris hati.
Bahkan di ayat yang lain, Allah menegaskan:
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. (QS. At-Taghabun: 14)
Melalui peristiwa penyembelihan kurban ini, nabi Ibrahim memberi pelajaran bagaimana orangtua harus rela menyembelih anaknya dengan memberikan pendidikan yang benar. Kenalkan mereka terhadap Tuhannya. Kenalkan mereka dengan mengajarkan Al-Qur’an. Pahamkan mereka tentang syari’at agama. Ajarkan pada mereka akhlaqul karimah.

Sebagai orangtua jangan ragu-ragu menyembelih anak kita sendiri, dalam pengetian menyetop mereka jika berlaku salah. Stop anak-anak kalian jika mereka bergaul bebas, lelaki dengan perempuan. Stop anak-anak kalian jika mereka berpakaian tidak sopan, melanggar syaria’at, mengumbar aurat. Stop anak-anak kalian jika terlihat mereka sampai berani merokok, karena jika dibiarkan akan menjadi pintu masuk alkohol dan narkoba.
Orangtua harus tega menyembelih anaknya, dalam arti melarang mereka berbuat maksiyat. Orangtua harus rela menghukum anaknya yang tidak shalat. Meninggalkan shalat sama dengan berbuat kemaksiyatan. Jika kepada Allah mereka berani melanggar, bagaimana kepada yang lain?
Rasulullah telah mengingatkan:
Suruhlah anak-anakmu shalat bila berumur tujuh tahun dan gunakan pukulan jika mereka sudah berumur sepuluh tahun. (HR. Abu Dawud)
Sungguh ironis, banyak orangtua yang segan mengingatkan anaknya untuk melaksanakan shalat, padahal mereka sudah berumur di atas sepuluh tahun, bahkan sudah ada yang berumur tujuh puluh tahun. Banyak orangtua yang segan mengingatkan anaknya yang sedang pacaran, bergaul bebas, dan berpakaian tidak sopan.
Anak kita adalah aset masa depan kita. Di saat kita sudah menghadap Allah, merelah yang bisa meminta ampunan kepada Allah. Di saat kita sudah mati, merekalah yang bisa mendo’akan kita. Anak adalah surga dan neraka kita.
Rasulullah ditanya tentang peranan kedua orangtua, beliau menjawab:
Hum jannatuka wa naruka
Mereka adalah (yang menyebabkan) surgamu dan nerakamu. (HR. Ibnu Majah)
Kita semua mencintai anak, akan tetapi kecintaan kita kepada anak jangan sampai kelewat batas. Betapa banyak orang tua yang rela korupsi, besar-besaran atau kecil-kecilan demi anaknya? Ketika anaknya masih kecil, yang diminta mungkin hanya sekadar mobil-mobilan. Tapi ketika mereka dewasa, yang diminta mobil beneran. Rumah beneran.

Sebelum anak-anak kita menjadi neraka di rumah kita, sebelum anak-anak kita menjadi generasi perusak bangsa, mari kita jadikan kecintaan kepada Allah di atas segala-galanya. Mari kita jadikan ketaatan kepada Allah menjadi perisai kehidupan kita. Kita didik anak kita baik-baik. Kita juga jadikan diri kita sebagai suri tauladan yang baik bagi mereka.

Jadilah orangtua yang bisa menjadi contoh. Jadilah orangtua yang bisa “sung tulodo”. Orangtua yang tidak hanya bisa menasehati, tapi juga bisa menginspirasi. Jadilah ayah seperti Ibrahim. Jadilah ibu seperti Siti hajar. Dan jadilah anak seperti Ismail. 

0 komentar:

Posting Komentar