PROFESI
GURU DALAM PANDANGAN
KACA
MATA ISLAM
Oleh: Ust. Abu Usamah
Imron,
(Pengurus dan
aktivis Lembaga Pendidikan Islam
Hidayatullah Propinsi Jambi)
A.
Muqaddimah
Manusia diberi
kebebasan oleh Allah untuk memilih pekerjaan mana yang disukai dan paling cocok
bagi dirinya. Allah tidak pernah melarang manusia untuk mengerjakan apa saja,
sepanjang pekerjaan tersebut tidak bertentangan dengan syariat agama, dan
syukur apabila pekerjaan tersebut mendatangkan manfaat bagi sesama.
Satu hal yang
diperintahkan Allah kepada manusia adalah bekerja dengan keras, karena Allah
sendiri yang akan memeriksa amal manusia. Hal tersebut tersurat dalam Q.S.
At-Taubah ayat 105 yang berbunyi:
“Dan katakanlah:
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya
serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu,
dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui
akan yang
ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu
apa yang telah kamu kerjakan”
B.
Uraian Materi Inti
1. Kemuliaan Sang Guru
Diantara berbagai pekerjaan yang ada di
muka bumi ini, guru adalah salah satu pekerjaan yang sangat mulia. Pekerjaan
yang akan membawa diri seseorang menikmati sadaqah jariyah (melalui ilmu) yang
tidak berkeputusan, bahkan hingga kelak orang (guru) tersebut meninggalkan
dunia yang fana ini.
Menjadi guru adalah pekerjaan yang
sangat mulia, karena guru adalah pewaris pekerjaan Rasulullah SAW. Hal ini
disebutkan dalam salah satu hadist Nabi: “Sesungguhnya saya diutus ke dunia
ini untuk mengajar.”. Karena itulah para ulama’, para Kyai senantiasa
menyempatkan diri untuk mengajar dan mendidik para santrinya. Hal itu karena
adanya dorongan untuk mengikuti jejak Rasulullah, dan juga meneruskan apa yang
menjadi cita-cita Rasulullah SAW, yakni: Innama
buitsu liutammima makarimal akhlak, “Sesungguhnya aku diutus ke bumi ini untuk
menyempurnakan kemuliaan akhlak”.
Guru menjadi pekerjaan yang sangat
mulia, karena apa yang dikerjakan guru memiliki nilai sosial yang tinggi dalam
membentuk masyarakat, dengan memberikan sumbangan ilmu melalui generasi penerus
bangsa. Itu sebabnya ustadz ditempatkan pada porsi yang luar biasa, guru dalam
pandangan orang Jawa dipandang sebagai sosok yang bisa digugu dan ditiru bahkan
sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa”, disematkan kepada diri para guru. Begitu
mulianya pekerjaan seorang guru, hingga Sayyidina Ali r.a. menyampaikan pesan: “Hormatilah
gurumu walau ia hanya mengajarimu satu ayat.”
Kemuliaan profesi sebagai guru dalam
pandangan Islam juga tidak terlepas dari keberadaan Islam sebagai agama yang
menjadikan menuntut ilmu dan mengajarkan sebagai suatu kewajiban. Maka orang
yang sengaja tidak menuntut ilmu atau mengajarkannya akan diancam syara’ dengan siksaan, dan yang
menyembunyikan ilmu yang bermanfaat akan dikekang pada hari kiamat dengan
kekang yang terbuat dari api neraka.
Dengan begitu Islam telah membebani kepada para guru dan orangtua dengan
tanggungjawab yang besar dalam pengajaran. Hal ini tersurat dalam beberapa
ayat-ayat Allah di dalam Al-Qur’anul Karim. (Q.S. At Taubah:122).
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama
dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu
dapat menjaga dirinya.
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan
apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan
(yang jelas) dan petunjuk,
setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab,
mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua
(mahluk)
yang dapat mela'nati. (Q.S. Al
Baqarah:159)
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan
apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan
menjualnya
dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya
tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api
dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat
dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka
siksa yang amat pedih. (Al Baqarah:174)
2. Imbalan Yang
Sesungguhnya
Menjadi guru dan telah
mengajarkan sesuatu yang baik pun belum dapat dipastikan akan mendapat pahala
di sisi Allah manakala orang yang bersangkutan hanya bisa menyampaikan dan
tidak mau mengerjakan. Hal ini tersebut dalam ayat Allah:
Amat besar kebencian di sisi Allah
bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tidak kamu kerjakan.
(Q.S. Ash Shaff:3).
Akan tetapi jika
seorang guru benar-benar mengerjakan tugas dan tanggungjawabnya dengan baik dan
benar, dan memberikan tauladan dari apa yang telah disampaikan kepada anak
didik, maka Allah menjanjikan pahala bagi guru yang bersangkutan. Rasulullah
SAW menyampaikan dalam salah satu Hadistnya:
“Sepatah perkataan yang baik
yang didengar oleh seorang mukmin
lalu diajar dan diamalkanny lebih baik daripada ibadah setahun”.
“Sesungguhnya Allah, para malaikat,
isi langit dan bumi hingga semut di dlm lubang dan ikan dalam laut, semuanya
berdoa dan mendoakan orang-orang yang mengajar manusia”
(H.R. At-Turmizi)
3. Bekerja dan
Beribadah
Saat ini profesi guru
semakin dihargai oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 14
Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Melalui Undang-Undang tersebut tingkat
kesejahteraan guru dapat lebih terjamin, karena dengan adanya sertifikasi dapat
meningkatkan penghasilan guru dua kali lipat, bahkan lebih. Akan tetapi jangan
pernah menjadikan nilai gaji sebagai ukuran dalam bekerja. Niatkanlah setiap
pekerjaan sebagai ibadah. Sebab dengan begitu apa yang kita kerjakan akan
mendapat penilaian yang mulia di sisi Allah, dan akan dibalas dengan pahala
yang setimpal.
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah
kepadamu atas ajakan-ajakan itu,
upahku tidak lain hanya dari Tuhan
semesta alam.” (Q.S. Asy-Syu’araa: 109)
Jika dalam bekerja
seorang guru diniati dengan ibadah, maka apa yang dia lakukan akan senantiasa
dilandasi dengan keikhlasan, dan tidak akan menganggap diri penuh jasa dan
penuh kebaikan pada orang lain. Apalagi menginginkan orang lain tahu akan jasa
dan kebaikan dirinya, lalu berharap agar orang lain menghargai, memuji, dan
membalasnya. Karena jika hal itu yang terjadi maka berarti orang tersebut
sedang membangun penjara bagi diri sendiri dan sedang mempersiapkan diri
mengarungi samudera kekecewaan dan sakit hati.
Ketahuilah bahwa semakin banyak kita berharap sesuatu dari selain Allah SWT, maka semakin banyak kita akan mengalami kekecewaan. Karena, tiada sesuatu apapun yang dapat terjadi tanpa ijin Allah. Sesudah mati-matian berharap dihargai makhluk dan Allah tidak menggerakkan orang untuk menghargai, maka hati ini akan terluka dan kecewa karena kita terlalu banyak berharap kepada makhluk. Belum lagi kerugian di akhirat karena amal yang dilakukan berarti tidak tulus dan tidak ikhlas, yaitu beramal bukan karena Allah.
Selayaknya kita menyadari bahwa yang
namanya jasa atau kebaikan kita terhadap orang lain, sesungguhnya bukanlah kita
berjasa melainkan Allah-lah yang berbuat, dan kita dipilih menjadi jalan
kebaikan Allah itu berwujud. Sesungguhnya terpilih menjadi jalan saja sudah
lebih dari cukup karena andaikata Allah menghendaki kebaikan itu terwujud
melalui orang lain maka kita tidak akan mendapat ganjarannya.
Seorang guru juga harus bisa menahan diri dari ujub dan merasa berjasa kepada murid-muridnya. Karena memang kewajiban guru untuk mengajar dengan baik dan tulus. Dan memang itulah rizki bagi seseorang yang ditakdirkan menjadi guru. Karena setiap kebaikan yang dilakukan muridnya berkah dari tuntunan sang guru akan menjadi ganjaran tiada terputus dan dapat menjadi bekal penting untuk akhirat. Kita boleh bercerita tentang suka duka dan keutamaan mengajar dengan niat bersyukur bukan ujub dan takabur.
Seorang guru juga perlu
lebih hati-hati menjaga lintasan hati dan lebih menahan diri andaikata ada
salah seorang murid kita yang sukses, menjadi orang besar. Para guru biasanya
akan sangat gatal untuk mengumumkan kepada siapapun tentang jasanya sebagai
guru murid yang sukses plus kadang dengan bumbu penyedap cerita yang kalau
tidak pada tempatnya akan menggelincirkan diri dalam riya dan dosa.
4. Himbauan
Mari kita
bersungguh-sungguh untuk terus berbuat amal kebajikan sebanyak mungkin dan
sesegera mungkin. Setelah itu mari kita lupakan seakan kita tidak pernah
melakukannya, cukuplah Allah yang Maha Melihat saja yang mengetahuinya. Allah
SWT pasti menyaksikannya dengan sempurna dan membalasnya dengan balasan yang
sangat tepat baik waktu, bentuk, ataupun momentumnya. Salah satu ciri orang
yang ikhlas menurut Imam Ali adalah senang menyembunyikan amalannya bagai
menyembunyikan aib-aibnya.
Bagi para guru saya
juga berpesan agar senantiasa bekerja dengan professional, dan selalu menjaga
mutu dari pekerjaanya. Contohlah perbuatan Rasulullah SAW yang selalu terjaga
mutunya. Begitu mempesona kualitasnya. Shalat beliau adalah shalat yang bermutu
tinggi, shalat yang prestatif, khusyuk namanya. Amal-amal beliau merupakan
amal-amal yang terpelihara kualitasnya, bermutu tinggi, ikhlas namanya.
Demikian juga keberaniannya, tafakurnya, dan aneka kiprah hidup keseharian lainnya.
Seluruhnya senantiasa dijaga untuk suatu mutu yang tertinggi.
Tidak heran kalau Allah Azza wa Jalla
menegaskan,
"Sesungguhnya telah ada pada
diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang-orang yang
mengharap rahmat Allah ..."
(QS. Al Ahzab
[33] : 21)
Ingatlah bahwa "Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia
Ingatlah bahwa "Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia
menyuruh yang ma’ruf dan mencegah
yang munkar
dan beriman kepada Allah ...!’ (QS. Ali Imran : 110).
B.
Penutup
Oleh karena itu, bagi Anda yang
dikaruniai kesempatan menjadi guru dan mengharapkan dicintai dan dihormati
muridnya, jangan pernah membuat bosan murid ketika mengajar di kelas,
Laksanakan pembelajaran yang Aktif, Inovatif, Kreatif, dan Menyenangkan,
dan selalu dilandasi dengan upaya untuk menciptakan murid-murid yang cerdas dan
berpikiran maju. Contohlah Rasul dalam mengajar. Bagaimana cara Rasul mengajar?
Ternyata Rasulullah mengajar dengan penuh kelembutan, kasih-sayang, dan sangat
ingin para sahabatnya menjadi maju.
Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya,
"Dan sesungguhnya Rasul Allah
itu menjadi ikutan (tauladan) yang baik untuk kamu
dan untuk orang yang mengharapkan
menemui Allah di hari kemudian
dan yang mengingati Allah
sebanyak-banyaknya."
(Q.S. Al Ahzab:
21).